TUGAS ILMU BUDAYA DASAR SOFTSKILL
“Agama Dan Masyarakat”
Disusun Oleh:
Nama : Amer azzizu rahman ( 10214956
)
Kelas : 1EA35
Jurusan : MANAJEMEN
Fakultas : EKONOMI
Universitas Gunadarma
Semester PTA 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat rahmatnya makalah ini dapat selesai tepat pada
waktunya. dan langsung di terapkan ke makalah.Didalam makalah ini
penulis mencoba untuk membuat materi diatas saling berhubungan namun, penulis
yakin makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran dari
pembaca sangat penulis harapkan. Terima kasih
kalimalang, 19 Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I :
Pendahuluan………………………………………………………….
A. Latar
Belakang……………………………………………………………
B. Tujuan………………………………………………………
BAB II :
Pembahasan……………………………………………………………………
A.
Pengertian
Agama Dan Masyarakat……………………………..
B.
Fungsi-Fungsi
Agama………………………………………………….
C.
Pelembagaan
Agama………………………………………..
D.
Konflik
Agama Dan Masyarakat…………………………………….
E.
Studi
kasus…………………………………………..
BAB
III :
Penutup………………………………………………
A.
Kesimpulan……………………….
B.
Daftar
Pustaka……………………
BAB I
Pendahuluan
A.Latar Belakang
Dilihat dari
segi Agama dan Budaya yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain,
sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum memahami
bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan.
Penulis masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai Agama dengan nilai – nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan.
Penulis masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai Agama dengan nilai – nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan.
B.Tujuan
Demi
terjaganya esistensi dan kesucian nilai – nilai agamengaplikasikan serta dapat
membandingkan antara Agama dan Budaya. ma sekaligus memberi pengertian, disini
penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya, yang
tersusun berbentuk makalah dengan judul “Agama dan Budaya”. Penulis berharap
apa yang diulas, nanti dapat menjadi paduan pembaca dalam
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Agama Dan
Masyarakat
Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan
kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga
disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama
di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik,
ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk
Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan
3,4% kepercayaan lainnya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk
diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan
“menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau
kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam
agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada
di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu,
kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar
kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah
menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong
utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari
India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah
berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di
Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun
1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1,
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.
Islam :
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan
88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat
dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya
agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
Hindu :
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan
sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
Budha :
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam
masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
Kristen
Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian
pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada
umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat
kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang
rempah-rempah.
Kristen
Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial
Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham
Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di
Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang
ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di
Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
Konghucu :
Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang
Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba
di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik
beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
B. Fungsi-Fungsi Agama
Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri
sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan.
Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat
menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat
diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku
dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam
menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat
diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan
sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran
agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang
baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari
kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar
tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau
kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang
mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan
apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama
berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam
agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal
yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan
kondisi ideal.
Mengapa ada
yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari
kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa
mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena
kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa
yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang
mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang
berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu
perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi
yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga
mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang
menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan
perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka
menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang
lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki
dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang
mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat
supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam
realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka
sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam
mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki
menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat
empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini
menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita
rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra
rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang
dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur,
maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak
agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual
yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi
intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea.
Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi
manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah
membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian
menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa
sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena
keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru
karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang
mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai
tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan
keseluruhan dimensinya.
C. Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan
sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama
adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat
telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu
organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang
dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi
penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah.
Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya
belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi
itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab
terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama
dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh
ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut.
Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak
dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan
(kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah
lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau
tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia
dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis
mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada
zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama
resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi,
termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi
versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak
orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka.
Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat
besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih
banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama
barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan
dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah
dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama
suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun
nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku
bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana
terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para
pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara
agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang
selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan
yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang
yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias
tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat
membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya
berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim
sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik
sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu
agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
D. Konflik yang ada dalam Agama dan
Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak
konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena
agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang
dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan
dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga
terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang
dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus
perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah
ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi
oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak
mendapatkan hak.
Permasalah
konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai
kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29
Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama
dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal
era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di
Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri
ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan
beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong
menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag
secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
E.Studi kasus :
Contoh Kasus
yang berkaitan dengan Agama dan Masyarakat
Kesadaran Umat Islam di Bandung dalam Beribadah Masih Lemah
Kesadaran Umat Islam di Bandung dalam Beribadah Masih Lemah
Bandung –
Hasil survey Pusat Data dan Dinamika Umat (PDDU) Yayasan Daarul Hikam menyebut,
kesadaran dan kepatuhan umat Islam dalam beribadah di Kota Bandung masih lemah.
Sebanyak 600 responden dari 50 kelurahan dan 30 kecamatan di Kota Bandung, baru
47 persen di antaranya yang melakukan salat wajib.
“Kami
melakukan riset dengan kuisioner dan wawancara, hasilnya, untuk ibadah mahdhah
(khusus), ghairu mahdhah (umum), dan muamalah hasilnya memprihatinkan,” kata
Direktur PPDU Daarul Hikam, Sodik Mujahid, dalam ekspos profil umat Islam Kota
Bandung dan Peringatan Maulid Nabi, Kamis (24/1/2013).
Sodik
menyebutkan, baru 47 persen di antara responden yang melaksanakan salat wajib,
24 persen melaksanakan salat tepat waktu, 24 persen salat di mesjid, 18 persen
melaksanakan salat sunat rawatib,dan 5 persen yang solat tahajud. Sementara
untuk pelaksanaan zakat, kebanyakan masyarakat masih menyalurkan dengan cara
sendiri dibanding dengan melalui amil (penyalur zakat).
“Baru 22
persen yang biasa mengeluarkan zakat harta, dan 83 persennya bayar zakat
fitrah. Untuk penyaluran, hanya 5 persen yang melalui BAZ dan LAZIS). Sedangkan
71 persennya langsung ke masjid, panti yatim dan pengemis,” kata Sodik.
Sementara
untuk puasa, baru 77 persen responden melaksanakan puasa wajib di bulan
Ramadhan, dan hanya 33 persen yang membayar utang puasa di bulan lain.
“Kemauan dan
kemampuan baca Al-Quran juga memprihatinkan berdasarkan survey, baru 56 persen
saja yang bisa baca, dan 26 persennya yang mengerti tajwid,” ungkapnya.
Lebih lanjut
Sodik mengungkapkan, selama ini di Bandung belum ada basis data untuk
pelaksanaan dakwah. Diharapkan data ini bisa menjadi awal dari pembenahan
dakwah di Kota Bandung.
Tanggapan :
Dari contoh kasus diatas memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat akan agama
masih rendah. Khususnya umat muslim di Indonesia. Padahal Indonesia adalah
negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Tetapi kenapa Indonesia kurang
dikenal sebagai negara yang religius? Mungkin karena kurangnya pendidikan agama
yang didapatkan masyarakat saat ini. Meskipun masih banyak ulama di sekitar
kita. Oleh karena itu pendidikan agama sangat penting ditanamkan di hati setiap
orang dari kecil. Karena pendidikan agama akan menjadi bekal kita di akhirat
yang mana itu adalah tempat yang sesungguhnya kekal bagi kita.
BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
B.Daftar pustaka :
http://sapriantoo.wordpress.com/2013/01/13/makalah-agama-dan-masyarakat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar